Tentang Status Facebook, Masa Lalu, dan Pledoi Untuknya

Siapa yang tak kenal dengan jejaring sosial facebook? Jejaring sosial bikinan Mark Zuckerberg ini sangat diminati oleh masyarakat. Tercatat jumlah pengguna FB sudah tembus ke angka 1 milyar (tapi ini termasuk akun kloningan juga lho). Indonesia menempati peringkat keempat pengguna FB terbanyak di dunia. Seiring dengan kesuksesannya, FB pun memutuskan untuk melakukan IPO walaupun kini harga sahamnya agak turun. Saya pun juga memiliki akun fb, yang terpaksa ganti nama pada tanggal 17 Desember 2014.

Dunia facebook di beranda saya baru geger dengan sebuah fenomena. Kejadian ini diawali kemarin siang, saat status teman saya di tahun lampau tiba-tiba dikomen oleh teman fbnya. Status dengan bahasa tahun lampau tersebut menjadi naik lagi. Dalam sekejap, hobi memberi komen di status tahun lampau menjadi tren di kalangan teman-teman saya. Bak bola salju, kejadian ini menjadi meluas dan memakan banyak “korban”. Saya juga menjadi korban, dengan status saya yang sebenarnya cuma ngutip lagunya Ebiet G Ade.

Ketika kita memberi komentar pada status dulu-dulu, kita harus memahami suasana kebatinan yang terjadi di tahun saat status fb tersebut dibuat. Rata-rata status tersebut dibuat pada 2009 sampai awal 2010. Pada saat itu memang sedang trend dengan penggunaan bahasa yang  dianggap asyik. Tidak mengenal entitas kedaerahan, teman saya baik di Cilacap, Magelang, Purworejo, maupun daerah lain rata-rata menggunakan bahasa yang sama. Bahasa tersebut ditandai dengan kata yang disingkat, huruf besar kecil, sampai dicampur dengan angka. Pokoke nganti bingung iki status pesbuk opo plat nomer,opo ojo-ojo kode registrasi UNY. Kalau sekarang sih disebut dengan bahasa alay kali ye. Untung saya gak ikut-ikut dengan bahasa tersebut. 4kU k4nD Tid4K bi4Sa 7aDi 4l4Y. H3h3h3h3

Ada yang salah dengan status tersebut?  Tidak. Membaca status tersebut berarti harus membaca dengan perspektif tahun 2009-2010. Kalau dibaca dengan perspektif sekarang, yang tampak adalah bahwa terdapat sifat alay, labil, lebay, dsb dari sang pembuat status. Pemberian label tersebut harus dihindari. Marilah kita meluangkan waktu untuk kembali ke tahun tersebut, sambil mengingat apa yang terjadi. Tahun tersebut teman-teman masih menempuh pendidikan SMP, masa dimana setiap peristiwa dan suasana hati wajib untuk diaktualisasikan. Ibarat seniman mural yang membuat karyanya di tembok,jejaring sosial bikinan om Mark ini dijadikan wahana aktualisasi anak-anak bau kencur berseragam biru putih di tahun 2009-2010. Tidak masalah, wong saya juga melakukannya di tahun tersebut kok. Jika kita melihat status tersebut dari bahasa yang *mohon maaf* merusak mata ke isi status, akan tampak bahwa teman-teman di tahun 2009-2010 adalah anak yang ekspresif, terbuka, dan selalu aktual untuk menyikapi permasalahan yang ada, terutama permasalahan hati. Ada bahasa kejujuran yang tidak dibuat-buat dalam status tersebut. Hehehehe

Berbicara tentang status masa lalu, ada pelajaran menarik yang dapat dipetik. Melalui masa lalu, kita belajar untuk mengenal diri sendiri. Sambil ngikik-ngikik membaca status, kita dapat mengenang soal masa lalu kita yang syuram dari penggunaan bahasa. jebul aku mbiyen koyo ngene yo. Mungkin itu bagian dari warna warni kehidupan. Dulu begini, sekarang sudah tidak lagi. Berarti kan bagus, ada perbaikan. Dulu pakek ejaan plat nomer, sekarang sudah EYD.

Selalu ada cerita dibalik setiap status yang dibuat. Bagi penggunanya, facebook adalah monumen sejarah, dimana cerita yang terjadi tersimpan dan menjadi arsip yang bisa dipergunakan kapanpun saat kita membutuhkannya. Tidak perlu dihapus, malah status tersebut harus dikenang. Tidak peduli serunyam apa bahasa yang kita gunakan. Tidak peduli sesyuram apapun kenangan di belakangnya, status tersebut harus tetap dilestarikan. Bukankah bangsa ini juga pernah punya pengalaman pahit dengan masa lalunya? Kita pernah mengalami masa dimana anak bangsa saling menyembelih di tahun 65-66. Apakah kita lantas melupakan peristiwa tersebut? Soal meng-up masa lalu. Bukankah hal tersebut juga kerap dilakukan bangsa ini. Menjelang pilpres 2014, bukankah kita sering disuguhi dengan berita soal kenangan 98 yang melibatkan salah satu capres? Atau berita lain tentang masa kecil capres lain yang keluarganya difitnah sedemikian rupa.

Akhir kata. Biarkanlah status fb kita naik selama beberapa hari, untuk kemudian tenggelam kembali.  Jika fb adalah dinding tembok, status kita adalah warna yang menghiasinya. Ia  bisa merah, hitam, biru, atau abu-abu.  Status dulu adalah abu-abu, penuh debu, dan biarkanlah berlalu.

Selesai sudah

Dab Pandu


*penulis adalah alay fb yang sudah berkecimpung di dunia tersebut sejak 2009. Ganti nama akun pada 17 Desember 2014*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun: 2022, Kembali dan Mengingat Mourinho

Melihat Huesca, Mengingat Chairil

Catatan Akhir Tahun: Di Garis Batas