Melihat Huesca, Mengingat Chairil

Malam minggu beberapa waktu lalu saya melihat klub yang saya suka, Real Madrid melakoni lanjutan laga La Liga. Kali ini mereka menjamu Huesca di stadion Alfredo di Stefano. Sempat kesulitan di awal pertandingan, Los Blancos menutup pertandingan dengan skor 4-1.  Hazard menyumbang sebiji gol, Fede Valverde 1 gol, dan sisanya dibikin the one and only, Lord Karim Benzema.

Memang menyenangkan melihat Real Madrid menang. Apalagi permainan klub yang diasuh Zidane ini sering tak pasti. Satu pertandingan main bagus, lalu laga selanjutnya blong. Kadang ciss, kadang amsyong. Pasca pertandingan lawan Huesca, performa tim naik turun. Sampai ada rumor Zidane bakal dipecat. Namun akhirnya Real Madrid berhasil memperbaiki permainan dan terakhir mereka menang 6 kali beruntun. Melihat tim yang tidak stabil sangat tidak sehat bagi kesehatan jantung. Hal seperti ini mengaduk-aduk perasaan para penggemar.

Saya tak hendak membahas bagaimana Real Madrid mengalahkan Huesca. Ketika mendengar nama Huesca, ingatan saya langsung tertuju pada hal lain. Tentu sesuai judul tulisan ini. Jadi ingat Chairil. Chairil Anwar tentunya. Yang kata-katanya masih sangat bertenaga sampai sekarang. “Hidup hanyalah menunda kekalahan”, “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”, “Nasib adalah kesunyian masing-masing”, “Kerja belum selesai, belum apa-apa” merupakan kata-kata bikinan Chairil yang cukup berkesan.

Kembali ke Huesca. Huesca merupakan salah satu puisi saduran yang dibuat Chairil. Kalau tidak salah, tahun edarnya adalah 1948. Ia menerjemahkan karya John Cornford dengan karya asli berjudul To Margot Heinemann. Puisi ini memang dibuat Cornford untuk kekasihnya, mbak Margot Heinemann.

John Cornford adalah orang Inggris. Puisi nggerus ini dibikin saat dirinya ikut perang saudara Spanyol. Perang tersebut melibatkan kubu fasis melawan komunis. Lhah, bagaimana ceritanya orang Inggris bisa ikut-ikutan hureg di Spanyol? Cornford bergabung dengan pasukan militer milik pasukan komunis. Beberapa sastrawan juga ikut perang ini. Orwell dan Hemingway adalah salah duanya.

Karya Hemingway yang terinspirasi perang saudara Spanyol adalah For Whom The Bell Tolls. Versi Indonesianya jadi Kepada Siapa Genta Berdentangan. Bukunya juga sudah tersedia di pasaran. Sementara Orwell menulis Homage to Catalonia ketika terlibat dalam perang tersebut.

Salah satu lokasi perang saudara adalah front Huesca. Kota yang berjarak sekitar 4 jam dari Madrid ini dikuasai oleh pasukan fasis dan coba direbut oleh kaum komunis. Cornford menulis puisi ini On the last mile to Huesca dan dianggapnya sebagai The last fence for our pride.

Pada akhirnya, perang dimenangkan oleh fasis yang dipimpin Jenderal Franco. Jenderal Franco ini  omong-omongnya juga pendukung Real Madrid. Sering beredar rumor bahwa Real Madrid sangat digdaya karena Jenderal Franco merupakan pendukung setia klub ini. Bahkan ada satu cerita di mana pak Jenderal mengintervensi laga el clasico. Entah benar atau tidak, faktanya Madrid menang 11-1 melawan sang rival dari Catalan.

Lalu jika Jenderal Franco dengan rombongan fasisnya menang, bagaimana dengan John Cornford? Dia sendiri mati muda. Sehari pasca ia merayakan ultah ke-21. Goenawan Mohamad menuliskan jika Cornford seperti sudah memprediksi dirinya bakal gugur di medan laga, seperti tertulis dalam bait terakhir yang menyebut “into the shallow grave”.

Puisi ini memang menarik. Cornford seperti hendak mengirim pesan perpisahan pada sang kekasih. Pada bait kedua dia mencemaskan kehilangan Margot Heinmann. Cemasnya bukan main. Sampai-sampai harus cemas akan kecemasannya sendiri. Belum kehilangan saja pikirannya sudah ke mana-mana.

Seperti sudah jadi ketentuan tak tertulis bahwa mencintai memang harus siap untuk kehilangan. Jatuh cinta harus siap patah hati. Dan ketika kehilangan, yang tersisa cuma kenangan. Sastrawan asal Amerika Latin, Pablo Neruda dapat menggambarkannya dengan baik. Love is so short, Forgetting is so long.  Begitu kata Neruda dalam Tonight I Can Write The Saddest Lines.

Kenangan masa lalu memang menyiksa. Chairil menuliskannya dengan apik di bait pertama. Kenangan padamu adalah derita di sisiku. Waktu berlalu, orang bisa datang lalu pergi (dengan peran yang berbeda-beda), namun kenangan menetap. Tapi ya dijalani saja. Pada akhirnya waktu akan memberi jawaban. Mana kenangan yang tinggal, mana kenangan yang tanggal.

Selesai sudah

NB: Ada saran dari kawan, jika tidak mampu melupakan kenangan, bisa datang ke kelurahan dan mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Di bagian deskripsi, tulis saja tidak mampu melupakan masa lalu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun: 2022, Kembali dan Mengingat Mourinho

Mendengarkan The Trees and The Wild

2021: Sebuah Catatan Singkat