Cerita Penjor


Penjor di malam hari. sumber gambar pewartayogya.com

Melintasi Kota Yogyakarta dalam beberapa hari ini, ada nuansa yang berbeda. Bukan soal banyaknya hotel yang dibangun walaupun ada beberapa yang belum jelas izinnya. Bukan pula tentang kemacetan yang semakin hari semakin ruwet dan mendesak dicarikan solusinya. Nuansa tersebut bercerita tentang cara, ketika Yogya menyambut hari jadinya. Sebuah peneguhan bahwa kota ini memang istimewa.

259 tahun adalah usia kota ini. Tidak lupa kita haturkan doa pada para pendiri. Dalam menyambut hari jadi, diadakan berbagai kegiatan. Bermakna perayaan, sekaligus refleksi. Tidak boleh dilewatkan, dipasang pula penjor di pinggir jalan, baik kanan maupun kiri.

Memang kelihatannya sepele, tapi penjor mengajarkan banyak hal. Kadangkala hidup memang seperti penjor. Ia harus berdiri, tegak, berhias, untuk menyambut suatu perayaan. Tidak lupa pula penjor rela menunggu sampai perayaan itu tiba. Sudah siap sedia sebelum dimulainya agenda. Walaupun harus menunggu, penjor tetap antusias. Penjor gagah dalam menyambut hari jadi, seolah ikut mengucap selamat yang teriring doa kepada sang kota. Ia tak peduli bahwa setelah ini semua akan berjalan seperti biasa. Ia dicopot, dikembalikan ke gudang, bahkan dilupakan. Sekali berarti, sudah itu tak ada lagi.

Penjor tetap kuat ketika digantung. Tak peduli panas terik, debu, ataupun angin. Ketika malam ia sendiri. Mampus kau dikoyak-koyak sepi, mungkin itu seruan Chairil Anwar kepada penjor yang tegak berdiri . Sebelum hari H tiba, ia tidak boleh goyah. Perayaan bisa terganggu kalau penjor goyah bahkan roboh. Soal nanti dialpakan setelah pesta, tak jadi soal. Toh hari istimewa ini cuma setahun sekali. Kita pun ikut bersyukur, karena pada saat ulang tahun yang digantung penjor, bukan perasaan. Eh eh eh

Penjor pula yang mengajarkan bahwa hidup itu harus menerangi. Urip agawe urup, begitu falsafah Jawa berbunyi. Kelap kelipnya memberi inspirasi. Namun ia  harus sadar diri. Suatu saat sinarnya akan redup, dan membuatnya diganti. Penjor tak protes, apalagi bikin petisi. Ia diam dan mawas diri. Sadar bahwa setiap ultah ada penjornya, setiap penjor ada ultahnya.

Mungkin itulah penjor, rela menunggu sampai waktu pesta tiba. Bersiap dan menjadi pelengkap. Sebelum pada akhirnya, menepi usai menunaikan tugasnya.

HUT Kota Yogya memang telah berlalu
Tapi penjor itu masih berkelap-kelip menunggumu

Selesai sudah, aku cinta padamu cyuus


Dab Pandu
Pemerhati Taman dan Penjor di Kota Besar (Preman Pasar)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun: 2022, Kembali dan Mengingat Mourinho

Melihat Huesca, Mengingat Chairil

Catatan Akhir Tahun: Di Garis Batas