Senja Tabloid Olahraga
Tidak ada yang berubah kecuali
perubahan itu sendiri.
Kalimat diatas sering kita dengar.
Mengajarkan bahwa perubahan merupakan hal yang selalu ada dalam hidup. Dan
perubahan akan menggerus mereka yang tidak siap menghadapinya. Seperti kata
mbah Darwin dalam teorinya, yang tidak siap akan punah dan yang mampu bertahan
adalah mereka yang mampu beradaptasi. Fenomena diatas nampaknya juga berlaku di
industri media cetak Indonesia.
Sungguh hal menyedihkan bagi saya
ketika mendengar harian Olahraga Bola terpaksa pamit dan undur diri dari
hadapan pembaca setia pada 31 Oktober 2015. Rugi cetak yang dialami oleh harian
yang terbit pada 7 Juni 2013 ini memaksanya untuk kembali pada edisi mingguan.
Kabar tak sedap lain menghampiri. 31 karyawan BOLA terpaksa diPHK sebagai
akibat dari rasionalisasi yang dijalankan oleh manajemen BOLA. Ada yang
menerima, ada juga yang terus berjuang untuk mempertahankan haknya. Sebelum
BOLA meniup peluit panjangnya, Tabloid Soccer yang juga satu payung dengan BOLA
tutup pada 2014.
Sedikit melenceng dari wafatnya
harian olahraga BOLA. Tahun 2015 sepertinya menjadi tahun yang buruk bagi
industri media cetak. Harian sore yang legendaris, Sinar Harapan gantung
printer di tahun ini. Perjalanan koran sore ini bak IPK mahasiswa, naik turun
dab. Berdiri pada 1961 dengan cetak perdana 7.500 eksemplar, pada akhir tahun
oplahnya melonjak jadi 25.000 eksemplar. Bolak-balik dibredel, SH mencapai masa
kejayaannya pada tahun 1986 dengan oplah mencapai 250.000 eksemplar. Pada tahun
yang sama, SH kena bredel lagi oleh pemerintah Orba. SH terjatuh dan tak bisa
bangkit lagi sampai terbit kembali pada 2001. Namun pada akhirnya SH tidak
pernah mencapai lagi masa kejayaannya dan tutup pada akhir tahun.
Pada lingkup yang lebih luas,
statistik juga mengamini. Data dari PT The Nielsen Company Indonesia melaporkan
tahun 2015, dari 117 surat kabar yang dipantau, 16 unit media telah gulung
tikar. 38 majalah juga bernasib sama. Hanya tersisa 132 majalah dari 170
majalah, yang masih bertahan. Di luar negeri, kemarin (8/1) majalah FHM juga
menerbitkan edisi terakhirnya setelah 3 dekade menemani laki-laki.
Kembali ke BOLA. Sebenarnya saya
ndak terlalu fanatik terhadap tabloid ini. Saya juga bukan pelanggan yang
loyal. Pertama kali beli BOLA tahun 2011, saat masih kelas XI. Masih kalah
dengan adik angkatan saya yang beli SOCCER sejak zaman SMP. Ya, walaupun dia
beli SOCCER cuma cari posternya. Mosok, kenal SOCCER sejak zaman dulu kala,
klub yang dijago malah Manchester City. Hahaha. Waktu itu BOLA terbit 3 kali
seminggu, Senin, Kamis, Sabtu. Belinya
juga yang edisi Sabtu, soalnya harganya cuma 2.500. 2 edisi lain harganya
6.000. Bagi siswa proletar seperti saya, ongkos tersebut cukup berat juga.
Jadinya ya beli yang edisi malam minggu, eh edisi sabtu.
Ketika bel akhir pelajaran
berbunyi, segera saya menghambur keluar kelas dan memacu motor menuju agen
koran. Sambil melihat-lihat media cetak lain seperti Maxim, FHM, dan
Cosmopolitan Tempo, Media Indonesia,
dan Intisari, ya leyeh-leyeh sebentar. Tanya sama pemilik kios, ada ndak BOLA
edisi Sabtu. Nanti kalau beruntung ketemu kamu yang pulangnya belakangan. Kita
yang sempat saling pandang, sampai aku jadi lupa mbayar koran. Wekekeke.
Ketika saya meninggalkan bangku SMA
dan transisi menuju status mahasiswa BOLA menerbitkan edisi harian. Sungguh
keputusan yang tak diduga, mengingat harian olahraga sangat terbatas pangsa
pasarnya. Lagian, berita sepakbola kan selalu update. Berita hari ini jika
dikorankan besok semua sudah pada baca ataupun menyimak dari acara TV. Apalagi
dengan adanya internet. Banyak website balbalan yang menyajikan berita tak lagi
per jam, tapi dalam hitungan menit.
Contoh saja ketika kita nonton MU.
Seusai wasit meniup peluit akhir babak pertama selang beberapa menit kita akan
melihat berita di internet dengan judul: “HT: MU ditahan Swansea 0-0”. Atau “Gol
Jerome Bawa Norwich Ungguli MU di Babak I”. Bisa juga judulnya “Babak Pertama: Lini
Depan Mandul, West Ham Imbangi MU di Old Trafford”. Kenapa judulnya MU semua?
Soalnya MU jarang cetak gol di babak pertama. Mungkin itulah sebagian dari
taktik yang direncanakan oleh filsuf medioker. Pendek kata, dunia maya
dan TV lebih update dalam penyajian berita bola. Hal ini juga disukai oleh
masyarakat kita.
Begitulah nasib harian olahraga
kesayangan saya. Dilahirkan dan jadi bangian dari harian KOMPAS, berjaya, dan
mungkin sekarang memasuki titik terendahnya. Kembali menjadi mingguan sambil
terus mengembangkan versi online mungkin menjadi opsi terbaik. Tapi entah
sampai kapan mereka akan bertahan? Auk ah gelap.
Selesai sudah
Dab Pandu
Komentar
Posting Komentar