Catatan Akhir Tahun: Di Garis Batas

Tiba juga akhirnya. Di ujung penghabisan tahun. Saat tulisan ini diposting, mungkin kita semua sedang dalam masa peralihan. Semua memiliki cara sendiri untuk melewatinya. Ada yang berkumpul dengan kolega, ada pula yang memilih untuk berdiam diri sambil membuat catatan-catatan singkat.

Akhir tahun ini memang waktunya untuk mengingat dan berharap. Mengingat yang sudah terjadi, berharap untuk esok hari. Ada sekat antara ingat dan harap. Tentang hal yang sudah terjadi dengan sesuatu yang belum pasti.

Saya jadi teringat sebuah bagian dari puisi Chairil dalam Karawang-Bekasi. Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian. Apa yang ditulis Chairil cukup menggambarkan suasana politik pada masa itu. Pada saat itu, pasukan republik terus terdesak dan wilayah yang dikuasai semakin sempit. Namun semangat untuk melawan tidak pernah surut. Para pemuda dengan mimpi-mimpi kemerdekaan ini terus berjaga.

Di garis batas 1948/1949, Indonesia juga baru saja kena agresi kedua. Saya jadi teringat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sejak hari pertama agresi 18 Desember 1948, beliau memilih untuk bergerilya dengan mengambil rute pantai selatan Jawa.  Mungkin waktu pergantian tahun, beliau ada di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur.

Kembali ke judul. Berjaga di garis batas pernyataan dan impian ini bukan perkara mudah. Pernyataan adalah kondisi obyektif sementara impian merupakan hal yang subyektif. Seringkali terjadi gap antara pernyataan dengan impian. Antara karep dan kasunyatan ini sering ora cucuk. Begitu kata orang Jawa. Impiannya ingin ya, sementara pernyataannya ternyata tidak. Seolah-olah bisa dicapai, tapi ternyata tidak. Atau jika dibalik, tidak bisa dicapai namun rasanya mungkin. Memang yang mungkin-mungkin ini kadang kala bikin syur.

Kalau sudah begini, mau gimana lagi hahaha. Hanya bisa menerima. Sementara untuk yang belum-belum, maka berjagalah terus di garis batas. Berjaga terus sampai di ujung, sambil berharap sampai pengap. Sampai bintang-bintang kepastian itu hadir.

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. aku tidak tahu apa nasib waktu!

(Perjurit Jaga Malam, 1948)

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun: 2022, Kembali dan Mengingat Mourinho

Mendengarkan The Trees and The Wild

2021: Sebuah Catatan Singkat