Alay...

Alay. Satu kata yang cukup sering terdengar di telinga kita. Bagi yang belum familiar dengan kata ini mungkin mengira bahwa alay adalah acara masak-masak yang dibawakan oleh celebrity chef Farah Queen (ini mah Ala chef, maap maap). Entah dari mana asal usul nya, kata alay kini sudah lazim terdengar di telinga. Bahkan kerap dijadikan olok-olok kepada teman.

Dari om Wikipedia, saya mendapat sedikit gambaran mengenai alay. Beginilah pengertian dari om wikipedia.

Alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia. "Alay" merupakan singkatan dari "anak layangan"atau "anak lebay.Istilah ini merupakan stereotipe yang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan.Selain itu, alay merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan dan selalu berusaha menarik perhatian. Seseorang yang dikategorikan alay umumnya memiliki perilaku unik dalam hal bahasa dan gaya hidup. Dalam gaya bahasa, terutama bahasa tulis, alay merujuk pada kesenangan remaja menggabungkan huruf besar-huruf kecil, menggabungkan huruf dengan angka dan simbol, atau menyingkat secara berlebihan. Dalam gaya bicara, mereka berbicara dengan intonasi dan gaya yang berlebihan]Di Filipina terdapat fenomena yang mirip, sering disebut sebagai Jejemon.Alay merupakan sekelompok minoritas yang mempunyai karakterisitik unik di mana penampilan dan bahasa yang mereka gunakan terkadang menyilaukan mata dan menyakitkan telinga bagi mayoritas yang tidak terbiasa bersosialisasi dengannya. Biasanya para Alayers (panggilan para Alay) mempunyai trend busana tersendiri yang dapat menyebar cepat layaknya wabah virus dikalangan para Alayers yang lain, sehingga menciptakan satu keseragaman bentuk yang sedikit tidak lazim.

Nah, ternyata alay sudah dianggap menjadi gaya hidup lho. Gaya alay memang selalu berubah dan tidak ada matinya. Ibarat merek, mereka selalu berinovasi agar produk mereka tetap diminati masyarakat. Saat ini kita mengenal kata seperti ciyus, miapah, enelan. Penggunaan kata-kata yang tidak baku ini bisa saja berdampak pada kehidupan berbahasa. Bahkan dulu sempat ada sebuah hipotesis bahwa turunnya nilai UN Bahasa Indonesia dikarenakan karena maraknya penggunaan bahasa gaul alias bahasa alay.

Walaupun begitu, keberadaan alay ternyata juga membawa dampak positif. Saat ini banyak acara musik yang membutuhkan mereka untuk menyemarakkan acara. Ada info yang menyebut bahwa setiap tampil di acara musik, mereka mendapat  honor berkisar 30-50 ribu. Nah, kalau begini kan bisa dijadikan pekerjaan, itung-itung juga mengurangi pengangguran. Selain itu, kita harus mencontoh para alay yang tampil di acara musik pagi. Dengan jadwal acara pukul 7, otomatis mereka akan bangun pagi, karena harus dandan dulu je. Bagi yang tidak bisa bangun pagi, agaknya bisa meniru semangat alay. Mosok kita kalah dengan alay mengenai masalah bangun tidur.

Menurut aku, keberadaan alay haruslah tetap dirangkul di masyarakat. Karena perkumpulan mereka dijamin di UUD 1945 pasal 28 E ayat (2) dan (3) yang berbunyi, “Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

K4l4u b3G1ni, 74d1 4L4y 5Ed1kiT k494K 4pa Y3...

Selesai sudah, aku cinta padamu cyuus

Dab Pandu, 
bukan sekedar 4L4Y biasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun: 2022, Kembali dan Mengingat Mourinho

Melihat Huesca, Mengingat Chairil

Catatan Akhir Tahun: Di Garis Batas