Suporter PSIM, mau mencontoh Italia, Inggris ,atau malah Mesir?

"Football without fans is nothing" (Jock Stein)

Kalimat diatas memang benar adanya. Sepakbola tanpa suporter bagaikan sayur tanpa garam, hambar. Mungkin kita bisa membayangkan jika sebuah pertandingan sepakbola tidak meriah karena tidak ada suporter yang bersorak-sorai. Mungkin yang terdengar dari sebuah pertandingan tanpa penonton hanyalah teriakan kiper yang mengatur barian pertahanannya atau instruksi pelatih kepada para pemainnya.

Nah disitulah pentingnya keberadaan suporter. Selain memuat pertandingan menjadi meriah dengan kreativitasnya, suporter juga berperan mendongkrak semangat tim yang didukungnya. Maka ada ungkapan bahwa suporter merupakan pemain ke-12 tim. Di Indonesia, kefanatikan suporter memang tidak dapat diragukan lagi. Bahkan ada salah satu timnas luar negeri yang lebih mewaspadai faktor suporter karena suporter Indonesia bisa meruntuhkan mental bermain tim lawan.

Berbicara mengenai PSIM, tentunya keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan suporternya. Suporter PSIM sudah ada sejak era perjuangan, perserikatan, lalu kompetisi profesional. Dimulai dari mbah-mbah kita, lalu pandemen lawasan yang disebut PTLM, sampai dengan terbentuknya organisasi suporter yang menaungi pecinta PSIM.

Agar tidak tergerus hegemoni suporter lain, suporter PSIM harus meningkatkan kreasi. Di era globalisasi ini, kreativitas suporter luar negeri bisa dijadikan referensi. Ada 3 contoh suporter yang bisa dijadikan referensi agar suporter PSIM tidak salah menentukan sikapnya dalam mendukung klub kebanggaan warga Jogja. Saya mengambil contoh dari 3 negara. Italia, Inggris, dan Mesir. Nah langsung saja kita mulai pembahasannya.

1. Italia

Suporter di negeri Pizza ini memang dikenal atraktif. Gayanya yang khas menginspirasi berdirinya ultras-ultras di Indonesia. Klub AC Milan misalnya, suporternya memiliki tingkat kreativitas tinggi sehingga mampu membuat gerakan “koreografi” yang sangat menawan. Cukup? Ternyata belum. Suporter AC Milan juga sering beratraksi dengan “giant flag” dan menyalakan “flare” yang membuat stadion lebih semarak.

2. Inggris

Lain Italia, lain pula Inggris. Suporter negeri ratu Elisabeth terkenal dengan gayanya yang “tradisional”. Mereka menyanyi tanpa memakai perlengkapan seperti suporter Italia. Suporter Inggris tidak harus berpakaian seragam klub, tetapi banyak pula yang berbaju bebas. Tetapi jangan salah, penjualan marchendise klub-klub di liga Inggris cukup menopang finansial klub tersebut. Mungkin hal tersebut bisa ditiru PSIM dengan membuat marchendise. Tetapi tidak harus berupa kaos, bisa dari barang kecil macam stiker, pin, gantungan kunci, pensil ber-aroma PSIM maupun barang yang memiliki nilai guna di masyarakat semisal sarung bantal, sarung, seprei, kethu “Jamrud” yang juga menonjolkan klub PSIM.

3. Mesir

Nah, yang ini janganlah ditiru oleh rekan-rekan suporter PSIM. Sedikitnya 73 orang tewas dan ribuan lainnya menderita luka-luka ketika peristiwa kelam tersebut terjadi di laga Al Masry vs Al Ahly di liga Mesir. Kerusuhan tersebut kabarnya dipicu karena amarah fans tamu yang tak bisa menerima kekalahan 3-1 yang mereka derita dari tuan rumah Al-Masry.

Akibat kerusuhan tersebut, klub Al Masry dilarang beraktivitas alias diskors selama 2 tahun. artinya, sampai musim 2013 Al Masry tidak berpartisipasi dalam liga Mesir. Walaupun Mesir dan Indonesia terpisah oleh jarak, kerusuhan tersebut seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Kita boleh mendukung klub kebanggaan kita, tetapi jangan sampai klub yang kita dukung justru dirugikan akibat ulah para suporternya.

Kesimpulan:
1. Keberadaan suporter PSIM sudah ada sejak jaman mbah-mbah kita dulu, jadi wajib kita teruskan semangat mbah-mbah kita dulu.
2. Menurut saya, suporter PSIM cocok dengan contoh Italia dan Inggris.
3. Marilah mendukung PSIM dengan kreasi, bukan anarki.
4. Kondisi keuangan PSIM sedang sulit, marilah kita menyokong dengan tetap one man one tiket.

Janganlah berkelahi

Saling Caci Maki

Bagi Jogja, Football for unity...

Selesai sudah...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun: 2022, Kembali dan Mengingat Mourinho

Melihat Huesca, Mengingat Chairil

Catatan Akhir Tahun: Di Garis Batas