Balada Kusni Kasdut
Sebelum anda membaca lebih jauh, tulisan kali
ini tidak ada hubungannya dengan bulan ramadan. Ini soal nostalgia lagi.
membahas sosok tahun 1960-an. Dan tulisan ini adalah karya daur ulang dari
tulisan dengan judul sama yang dimuat di blog PE. Pisan-pisan selingan ya, padahal
untuk catatan ramadan, masih ada tema tentang mercon, buku ramadan, tayangan
ramadan, takjil, dll. Lagipula, konsentrasi masih terfokus pada penyelesaian
UAS Sosio Antro Pendidikan (malah dadi ngelingi Paulo Freire)
Ketika
mendengar kata Kusni Kasdut dilafalkan, saya haqqul yakin anda tidak mengenal
nama tersebut dan balik bertanya siapakah gerangan beliau. Wajar bila anda ora reti dengan sosoknya karena Kusni
Kasdut memang tidak seterkenal Chelsea Islan dan Pevita Pearce, atau tak
sepopuler Raisa (nah, kalau ini metode membandingkan yang salah, ora apple to apple). Tapi tenang saja,
ketidaktahuan anda tentang sosok Kusni Kasdut tidak akan berpengaruh banyak terhadap
nilai UAS anda.
Kembali
ke sosok Kusni Kasdut, sejatinya saya juga tidak mengenal sosok tersebut karena
kami memang hidup pada zaman yang berbeda. Kusni lahir pada saat baby boomers dan hidup di generasi X. Adapun
generasi saya adalah generasi Y, yang lahir pada akhir milenium. Saat ini
generasi Y sudah mulai tumbuh menjadi manusia seutuhnya di era generasi Z
yang opo-opo
serba gadget. Kembali pada sosok Kusni
Kasdut, ia hidup pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ia pernah ikut bergerilya
pada masa revolusi fisik. Saat revolusi berakhir, ia mendaftar untuk menjadi
tentara namun tidak diterima karena alasan tinggi badan hingga akhirnya ia
memilih jalannya sendiri. Pada tahun 1961, saat negara ini menerapkan demokrasi
terpimpin dengan konsep nasakomnya, Kusni Kasdut menggegerkan dunia persilatan
dengan merampok Monumen Nasional.
Sosok
Kusni Kasdut menjadi terkenal, kondyang
jaran layaknya The Beatles yang berjaya di era 60-an. Ia dikenal sebagai
robin hoodnya Indonesia karena sering membagi-bagikan hasil rampokannya kepada
masyarakat kurang mampu. Pada masa itu apa-apa susah diperoleh. Beras mahal,
pakaian jumlahnya terbatas. Keahliannya dalam merampok membuat ia menjadi
buronan negara (bukan buronan mertua). Sempat ditangkap aparat dan mendekam di
teralis benci (istilahnya Vicky Prasetyo), Kusni Kasdut dapat kabur untuk
kemudian kembali berkarya (tentunya sebagai perampok).
Selalu
ada akhir untuk sebuah awal. Kata-kata mutiara ini juga berlaku bagi Kusni
Kasdut. Petualangan Kusni Kasdut sebagai garong harus berakhir ketika ia
kembali tertangkap oleh aparat. Ia kembali masuk teralis benci. Dengan pengawalan
ketat ia tidak mampu untuk melarikan diri dan akhirnya menghadapi meja hijau.
Dalam persidangan, Kusni divonis hukuman mati oleh hakim.
Hari-hari
terakhir Kusni Kasdut lebih banyak diisi dengan pertobatan. Ia mendalami agama
dan namanya berubah menjadi Ignatius Kusni Kasdut. Waktu terus berlalu dan
ketika saatnya tiba, Kusni menghadapi regu tembak dengan pasti. Sebelum
dieksekusi, ia menyempatkan diri untuk mengadakan perjamuan terakhir dengan
keluarga. Perjamuan terakhir seperti Kartosuwiryo. Bukan perjamuan terakhir
yang lukisannya sangat terkenal.
Akhirnya
tiba saat Kusni Kasdut didor oleh regu tembak. Nasibnya seperti Kahar Muzakar
ataupun Kartosuwiryo. Mereka pernah berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan,
hingga ketika revolusi berakhir mereka memilih berjuang dengan caranya sendiri.
3 orang tersebut akhirnya harus meregang nyawa dengan didor oleh pasukan
Indonesia. Sama halnya dengan Tan Malaka, bapak penulis Madilog ini ditembak
oleh pasukan Indonesia pada saat revolusi fisik. Bahkan sampai saat ini makam
Tan Malaka masih menjadi misteri.
Kisah
hidup Kusni Kasdut memberi pesan moral kepada kita. Kusni Kasdut dapat lari
dari penjara yang dikawal polisi, ia dikenal sebagai sosok licin seperti belut
kecemplung oli. Namun ada satu hal yang tak bisa ia hindari, lari dari
kenyataan. Kenyataan membuat ia harus ditangkap dan divonis mati.
Seperti
halnya Kusni Kasdut, kita juga tak bisa lari dari kenyataan. Menerima kenyataan
adalah menerima apa yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Mungkin itulah yang
disebut dengan takdir. Eh, takdir atau nasib ya? Entahlah. Namun saya pernah
membaca twit dari akun @sudjiwotedjo tentang perbedaan takdir dengan nasib.
Menikah itu nasib, mencintai itu
takdir. Kamu bisa merencanakan menikah dengan siapa, namun kamu tak bisa
rencanakan cintamu untuk siapa.
Maka
dari itu, aku cinta padamu. Sudah takdir je. Hehehe
P.B
Komentar
Posting Komentar