SD dan Sepakbola


Entah mengapa, postingan kali ini berbau nostalgia lagi alias kembali ke jaman baheula. Jaman ketika saya dianggap sebagian orang masih “kinyis-kinyis”. Cukup asyik jika kita kembali berputar di masa masih anak-anak, dimana kewajibannya hanyalah bermain. Belajar jarang-jarang, jadi yang diingat cuma main.

Salah satu permainan yang sangat digemari bocah SD adalah sepakbola. waktu kecil, saya sempat bercita-cita jadi atlet bal-balan. Karir sepakbola saya cukup lumayan. Buktinya saya sempat bergabung dengan tim sepakbola SD untuk mengikuti porseni tahun 2006. Dengan nomer punggung 3 (terinspirasi dari Jaime Sandoval), saya dipersiapkan sebagai bek dalam ajang tersebut. Latihan demi latihan sempat digelar dan saya sudah dibelikan sepatu baru. Pokoknya siap tanding deh. Dan rencananya, ajang tersebut akan digelar pada Minggu, 28 Mei 2006.

Tapi keinginan saya untuk berlaga di ajang porseni tidak kesampaian. H-1 Porseni, kita tahu sendiri ada kejadian  di luar prediksi dan kekuatan manusia. Akhirnya porseni dibatalkan dan saya gagal jadi atlet sepakbola. Sepatu yang baru beli juga hilang entah kemana. Walaupun gagal jadi pemain sepakbola, ada beberapa cerita menarik tentang sepakbola waktu saya masih SD.

Waktu SD, walaupun saya belum mendeklarasikan diri sebagai manusia setengah mahasiswa dan setengahnya lagi sepakbola saya sudah cukup akrab dengan sepakbola. Ketika itu saya dan teman-teman SD sering mengadakan pertandingan persahabatan dengan SD lain. Suatu hari SD kami berkesempatan menjajal tim dari SD dari daerah Grojogan (namanya lupa je,). Pertandingan tersebut digelar di Lapangan Brimob Gondowulung. Permainan berlangsung dibawah guyuran hujan. Saya masih teringat ketika saya menjadi kiper dan hanya leyeh-leyeh saja dibawah mistar gawang. Jadi kiper juga aras-arasen, wong saya saat itu pake mantrol. Hasilnya? tim kami menang besar dan gawang saya asik-asik saja alias perawan.

Setelah pertandingan, sempat terjadi insiden yang melibatkan anak-anak yang belum dewasa. Kalau boleh dibilang tawuran antar SD. Mungkin mereka tidak terima kami pecundangi di lapangan dengan skor mencolok. Esok harinya, mereka “nglurug” ke sekolah kami. Dengan kekuatan massa sekitar 10 orang, mereka mencoba mengganggu kedaulatan SD kami. Tapi, yang namanya anak SD,sebelum terjadi konflik yang lebih besar, masalah tersebut dapat diselesaikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Lain waktu kami sempat uji tanding dengan SD Mendungan 2. Sesama SD di daerah Mendungan, mungkin ini layak disebut Derby Mendungan. Pertandingan berlangsung dengan tensi tinggi dan cukup seru. Masing-masing tim mencoba mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Di akhir laga, hasilnya 5-4 untuk SD Mendungan 1.

Namun pertandingan tersebut juga dibonusi dengan kelahi antar SD. Ya, nggak serem-serem banget. Cuma, karena SD kami kalah massa ya harus lari dikejar-kejar. Saya dan teman-teman lari mencar-mencar menyelamatkan diri masing-masing. Teman saya sempat muntah-muntah setelah ia berhasil kabur. Mungkin karena shock. Hehehe. Seperti teman lain, saya juga lari. Sandal ditinggal di lapangan dan sepeda dibawa teman saya. Karena saya apal dalan dan cukup dekat dengan rumah saya aman-aman saya. Tidak muntah-muntah (sing muntah nek numpak bis).

Begitulah sekelumit serita SD saya dengan sepakbola sebagai olahraga favoritnya. Kalau diingat-ingat bikin prihatin. Bal-balan mosok yo kelahi. Mungkin perilaku tersebut menjalar sampai sepakbola nasional dimana ada kelahi anatara PSSI dengan Kemenpora. Entah anak SD yang seperti Kemenpora-PSSI atau Kemenpora-PSSI yang seperti anak SD?

Entahlah.
Selesai sudah


P.B

NB: tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan lama yang belum selesai dan belum pernah diposting. Ada sedikit perbaikan dan tambahan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun: 2022, Kembali dan Mengingat Mourinho

Melihat Huesca, Mengingat Chairil

Catatan Akhir Tahun: Di Garis Batas